Selamat Datang di Kolam ikanasinn

Layaknya Albus Dumbledore yang menuang isi pikirannya pada pensieve, saya pun ingin menuangkan ingatan saya pada blog ini. Sekedar untuk mengarsip kenangan.

Saya selalu mengagumi kata-kata Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Saya sering membayangkan, Pram mengelus lembut kening saya, sembari berucap, “Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” Dan, saya tersenyum, merasa seluruh alam mendukung pekerjaan mulia ini, belajar menulis, belajar mencipta keabadian.

Sebuah Relikui

Semburat senja masih menggantung di ujung barat daya langit. Jingganya begitu menyilaukan mata. Samar-samar celoteh perenjak terdengar, sepertinya mereka sibuk mencari tempat peristirahatan sebelum gelap tiba. Atau, bisa jadi itu nyanyian kemenangan mereka sebagai pertanda habisnya hari. Turun sedikit pandangan dari langit, di sana lapangan membentang. Rumputnya yang kering berkilat tertimpa cahaya jingga. Di sudut kiri lapangan itu, berdiri kokoh tower BTS. Ah, andai saja bukan karena catnya yang merah-putih, tak akan koyak lamunanku membayangkannya sebagai Menara Eiffel.

“Lagi apa, Neng?” suara lelaki menyapa dari balik telingaku.

Selalu lelaki yang sama, yang aku temui setiap sore di pinggir jalan aspal ini. Lelaki yang entah membawa beban berat apa di pundaknya. Ketika dia menginjakkan kaki di lapangan ini, sontak jingga langit menjadi suram, burung-burung pun mendadak diam. Rumput yang berkilat mendadak layu, tertunduk mengilhami kepedihan yang tergurat di wajahnya. Apakah benar wajah seseorang mampu mengubah suasana alam?

Baca lebih lanjut

Atap

Sehari-hari, aku senang menatap ke bawah, bumi.

Tapi, kau bilang di atas lebih indah, langit.

Katamu, jika aku tak mampu mendongak kemegahan langit yang terlalu di atas, maka cukuplah untuk menjangkau keindahan atap.

Bukan.

Sebenarnya bukan itu alasanmu kan?

Kamu tidak begitu suka melihatku tertunduk.

Bukankah bagimu, menunduk adalah merendah?

Dan, kamu tidak mau membiarkanku terbiasa merendah.

Aku tahu, tak pernah ada kata “merendah” dalam kamusmu, tapi tidak dengan kamusku.

Begitulah dirimu.

Selalu mengemas nasihat dengan analogi-analogi.

Karena kamu tahu, aku bukan penerima kritik yang baik.

Antara kamu, analogimu, dan nasihat untukku.

Ah, aku semakin merasa jatuh cinta.

20171225_1208343799263469327415501.jpg

 

Area Keraton Yogyakarta

 

 

20180418_1102464995874044540912747.jpg

Area Sam Poo Kong

Perempuan Tanpa Cela

Ibarat gula-gula, perempuan melahirkan berjuta rasa.

Lisannya penuh makna,

Lakunya mengukir cerita,

Warisan Tuhan sang teduh rupa.

Bermula dari ketidakpahaman,

Sang gemulai raga menuai ancaman.

Aurat terbuka tanda bencana.

Bencana menerpa, lahirlah dilema.

Bukan salah si mata keranjang,

Sungguh malang,

Ia kalap akan godaan melintang,

Yang sengaja nyata terpampang,

Maka, jadilah perempuan tanpa cela.

Perempuan yang menjaga kesempurnaan aura,

Lewat baik sangka dan rapat busana.

Jadilah ia, yang tekun merenda rida Yang Maha Kuasa.

Untuk Lelaki yang Matahari Terbenam pada Segelas Tehnya

Sebelas tahun silam, dia suka duduk di belakang kursiku jika di kelas. Dan, enam bulan lalu eh dia duduk satu kursi denganku di pelaminan.

Ya, akhirnya kita menikah.
Pernikahan yang semula kita rencanakan empat tahun mendatang. Tuhan mempercepatnya.
Meski sederhana, impian pertama kami terwujud: melangsungkan pernikahan dengan hasil keringat sendiri.

Setelahnya, kami benar-benar mencoba mandiri. Tidak mudah sungguh, saya sering mengeluh. Tapi, dia selalu ada untuk merengkuh. Dalam pelukannya, saya mendengar dia berbisik: “Ini tidak akan lama. Tuhan selalu memberi apa yang kita butuh.”

Dia bukan pujangga yang pandai merangkai kata. Kadang-kadang dia menggoda, tapi saya lebih pandai berkata-kata tentu saja.

Dia bukan lelaki romantis yang suka memberi sekuntum bunga.
Dia mencintai saya dengan caranya.

Dia memaafkan semua masa lalu saya.
Dia mendukung saya tumbuh menjadi wanita dewasa.

Dia memanggil saya Kecebong, saya memanggilnya Mas.
Dia memanggil saya Dodol, saya memanggilnya Mas.
Dia memanggil saya Dek, saya memanggilnya Mas.
Dia memanggil saya Sayang, saya tetap memanggilnya Mas.
Aih, perkara sayang-sayangan, ah itu milik anak muda. Kami berdua sudah cukup tua.

Dia lapar, saya wajib makan. Dia gendut, saya harus lebih gendut. Orang-orang mengomentari badan kami, kami terus bahagia.

Jika dia terluka, saya yang tersiksa.
Jika dia marah-marah, saya ikut marah.
Hingga pada akhirnya dia mengaku salah, saya menyerah. Lalu, kami bermaafan dalam peluk dan tawa yang renyah.

Lelaki itu akan selalu menjadi lelakiku.
Lelaki yang Matahari Terbenam pada Segelas Tehnya.

 

img_20190113_205127_8301523972641028081693.jpg

Dunia Itu Keras, Nak!

Dunia itu keras, Nak! Maka, lipat gandakan terus sabarmu. Ketika penantian demi penantian yang terus datang padamu, bukan hal lain yang lebih kamu inginkan, bersabarlah! Kelak buah dari penantian itu akan manis juga.

Dunia itu keras, Nak! Maka, hapus air matamu. Menangislah hanya di hadapan Tuhan. Karena sungguh, meskipun kamu ceritakan beribu kali keluhmu pada orang lain, mereka tidak pernah mampu mengangkat sedihmu. Sesekali boleh saja kamu berbagi cerita, sedikit saja, biar lega katanya.

Dunia itu keras, Nak! Maka, mengalahlah. Bukan berarti kamu kalah. Diamlah, ketika orang lain berkata a-b-c-d yang terkadang menusuk hatimu. Percayalah, apa yang mereka katakan tak akan mengubah apa pun dalam hidupmu. Kekuatanmulah hidupmu itu sendiri. Bertahan!

Dunia itu keras, Nak! Sungguh, dengan apa pun jangan kamu meminta dunia berlaku lembut padamu.

Menyimpan Rapi, Menata Kembali

Gerimis di sore yang manis.

Aku kembali mengingat, waktu itu pernah kulangitkan doa-doa. Banyak doa. Terlampau banyak. Pikirku, tak apa. Tuhan Maha Mendengar. Tuhan tak pernah bosan bahkan, mendengar doa-doa yang terus saja kuulang. Kuulang, karena aku terlalu takut doa-doa itu tak Ia kabulkan.

Doa-doa melangit, seperti balon-balon gas, warna-warni, terbang ke udara.
Doa-doa melangit. Hatiku sempit.

Gerimis di sore yang manis.

Kepalaku semakin penuh sesak oleh harapan-harapan. Lebih sesak lagi oleh besarnya keinginan agar doa-doaku cepat terkabul. Penuh. Penuh. Penuh. Duarrr!  Balon itu meletus. Pusing kepalaku.

Pusing. Pusing. Pusing. Lama. Dan, sampai pada penemuan brilian: Kuncinya hanya menyimpan rapi, menata kembali.

Balon kembali kutiup, dengan harapan baru, dengan kekuatan baru. Bahwa, tak selamanya harapan terkabul. Tapi, satu pengingatku: harapan harus selalu tumbuh.

 

Wasiat Beringin Tua

“Hidupku terancam, mereka menggusurku paksa! Membunuh masa depanku dan anak turunku. Aku memang hidup di garis bawah, garis hina, tapi suatu saat nanti mereka akan sadar bahwa kehilangan aku dan keturunanku akan membuat mereka hidup dalam bayang-bayang bencana!”

            Suara itu mengiang-ngiang di Baca lebih lanjut