Sebelas tahun silam, dia suka duduk di belakang kursiku jika di kelas. Dan, enam bulan lalu eh dia duduk satu kursi denganku di pelaminan.
Ya, akhirnya kita menikah.
Pernikahan yang semula kita rencanakan empat tahun mendatang. Tuhan mempercepatnya.
Meski sederhana, impian pertama kami terwujud: melangsungkan pernikahan dengan hasil keringat sendiri.
Setelahnya, kami benar-benar mencoba mandiri. Tidak mudah sungguh, saya sering mengeluh. Tapi, dia selalu ada untuk merengkuh. Dalam pelukannya, saya mendengar dia berbisik: “Ini tidak akan lama. Tuhan selalu memberi apa yang kita butuh.”
Dia bukan pujangga yang pandai merangkai kata. Kadang-kadang dia menggoda, tapi saya lebih pandai berkata-kata tentu saja.
Dia bukan lelaki romantis yang suka memberi sekuntum bunga.
Dia mencintai saya dengan caranya.
Dia memaafkan semua masa lalu saya.
Dia mendukung saya tumbuh menjadi wanita dewasa.
Dia memanggil saya Kecebong, saya memanggilnya Mas.
Dia memanggil saya Dodol, saya memanggilnya Mas.
Dia memanggil saya Dek, saya memanggilnya Mas.
Dia memanggil saya Sayang, saya tetap memanggilnya Mas.
Aih, perkara sayang-sayangan, ah itu milik anak muda. Kami berdua sudah cukup tua.
Dia lapar, saya wajib makan. Dia gendut, saya harus lebih gendut. Orang-orang mengomentari badan kami, kami terus bahagia.
Jika dia terluka, saya yang tersiksa.
Jika dia marah-marah, saya ikut marah.
Hingga pada akhirnya dia mengaku salah, saya menyerah. Lalu, kami bermaafan dalam peluk dan tawa yang renyah.
Lelaki itu akan selalu menjadi lelakiku.
Lelaki yang Matahari Terbenam pada Segelas Tehnya.